By Cik Ben

Riuh soal persimpangan di kota Bengkulu yang akan diganti nama atau sebutannya, timbulkan pro kontra di masyarakat kota yang berjuluk “Kota Sejuk Meriah Aman Rapih dan Kenangan” atau disingkat Kota Semarak. Begitulah tetua Bengkulu sebelumnya menyematkan untuk Ibukota Provinsi Bengkulu ini.

Paling tidak ada dua kontra dalam pemikiran. Mulai dari perubahan nama julukan Kota Semarak menjadi Bumi Merah Putih,  Simpang (Sempang) dirubah jadi Bundaran (Bulek-an).

Sebutan nama simpang yang puluhan tahun akrab  disebut oleh masyarakat Bengkulu, diganti dengan nama sebutan Bundaran para mantan Walikota Bengkulu sebelum era Helmi Hasan yang saat ini memimpin.

Tentunya semua itu kepurtusannya tergantung pada siapa yang lagi memegang kekuasaan. Warga yang kontra terhadap ketidaksetujuan harus sampaikan aspirasinya. Ini bagian dari tanggungjawab sebagai anak Negeri Bengkulu, untuk antisipasi ide  ‘ngejut-ngejut aja’ ini.

Kata Tetua Bengkulu dalam mengambil keputusan untuk kepentingan masyarakat, “Kalu idak tau betanyo. Kalu la tau kasih tau”. Maknanya mirip dengan kalimat, “Kalau tak tahu belajarlah. Kalau sudah tahu mengajarlah”. Pesan yang bermakna menuju manusia beradap agar tak jadi biadap.

Oleh karena itu, kritik sosial sebagai warga Bengkulu perlu ditegakkan, paling tidak seperti Perda Adat Bengkulu masih gencar ditegakan.

Nah…Kenapa sebagai warga Bengkulu  hendaknya  bertanya soal yang kontra itu tanpa tedeng aling-aling? Hanya dongeng  yang tak perlu dipertayankan. Kalau ceritera atau sejarah sesorang, perlu dipertanyakan.

Benar kalau ingin merubah sesuatu  itu tidak haram. Yang haram itu kalau dilarang oleh kitap suci. Pertanyaannya dalam soal kemasyaraklatan ini, apakah urgennya, pentingnya, merubah Julukan Bengkulu Kota Semarak menjadi Bumi Merah Putih?