Opini: Benny Hakim Benardie

Menyentil cara berfikir dan mematahkan pendapat orang lain, dalam negara demokrasi diperkenankan. Tentunya alangkah baiknya itu dilakukan sesuai kepatutan, tidak dimaksud mendiskreditkan seseorang atau kelompok, serta tidak egosentris. Ini merupakan hak asasi seseorang untuk bernalar.

Sebagai manusia beradab di era modernisasi, bernalar dalam melihat dan menanggapi sesuatu merupakan keharusan. Bernalar berarti seseorang melihat atau memperhatikan dengan berpikir sungguh-sungguh. Bukan asal ‘njeplak’.  

Pada  kenyataannya, bernalar sulit dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, mengingat akan kepentingan, desakan kebutuhan popularitas dan egosentris pragmatis. Kenapa hal ini ada di masyarakat intelektual, politisi dan praktisi kita? Karena ada kesadaran tiga komponen yang terabaikan yaitu nalar, akal sehat dan hati.

Sering kali misalnya seorang politisi atau praktisi dalam berbagai komentar menanggapi sebuah pendapat, dengan persepsi-persepsi tanpa merunut latar belakang atas pendapat yang ditanggapinya. Sebaliknya, pemberi pernyataan hanya memaparkan  secara kontekstual, tanpa memikirkan atas persepsi.   

Penulis sebenarnya ingin menegaskan, jika benar persepsi benar-benar merupakan persepsi yang benar, cocok dengan nalar dan akal sehat, adakah kita harus mematuhi dan bertindak atas dasar itu? Katakanlah mengiakan pertanyaan diatas, lantas bagaimanakah bila  ternyata persepsi yang kita anggap benar tadi ternyata salah?

Otoritas nalar dalam berpendapat merupakan keharusan. Sebutan manusia berkualitas salah satu ‘bayarannya’. Bila tidak, analogi sebagai manusia tuli dan bisu akan disandang, apa dan siapapun dia. Kesalahan akan persepsi merupakan kekurangan akan informasi yang mestilah ada klarifikasi susulan.

Bisu dan tuli yang penulis maksud tentunya bukan secara fisik. Melainkan ketidakmampuan mendengarkan hakekat, atau mendengarkan tapi tidak mengikuti dengan lidahnya. Bisu karena lidahnya hanya dipakai untuk omong kosong belaka. Tuli karena tidak dapat  mendengarkan hakikat yang ada.  Maka mereka merupakan sosok yang tidak bernalar. Sosok yang tidak bisa memperoleh keuntungan dari pemikirannya.