Dalam pertimbangan MK, disebutkan pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945.

Tetapi, juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Semestinya, jika MK konsisten menolak diskriminasi, frasa ‘sudah/pernah menikah’ dianulir dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Khususnya, yang memuat frasa “atau sudah/pernah menikah” mempertahankan diskriminasi terhadap anak itu sendiri, karena status perkawinan serta membuat ketidaksamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan.

Untuk memberikan kepastian hukum dan menghapus diskrimi­nasi terhadap anak, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengajukan pengujian terhadap UU No 8/2015 ke MK pada Selasa (12/11/2019) lalu.

Penggugat menilai frasa “sudah/pernah menikah” itu bertentangan dengan prinsip Pemilu dan Pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 

Keadilan tidak mungkin tercapai kalau ada privilege. Seolah-olah yang akan didapat anak kalau dia menikah ialah privilege untuk memilih.

Hampir semua negara di muka Bumi ini hanya menetapkan syarat umur tanpa disertai sudah/pernah menikah untuk pemilih. 

Akan tetapi, usia minimal untuk pemilih berbeda-beda. Sebanyak 206 negara menetapkan usia 18 tahun. Sebanyak tiga negara menetapkan usia 17 tahun, termasuk Indonesia yang menambah frasa “sudah/pernah menikah”.

Ketentuan sudah/pernah menikah sebagai syarat pemilih di Indonesia pertama kali diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR. 

Sejak saat itu, frasa “sudah/pernah menikah” dicantumkan di setiap undang-undang pemilu dari Pemilu Legislatif, Pilpres, sampai Pilkada.

Frasa “sudah/pernah menikah” itu mengingkari keutamaan pemil­u, yaitu tanggung jawab. 

Pemilu, kata ahli filsafat hukum Reinholf Zippelius, harus secara efektif menentukan siapa-siapa yang memimpin negara, arah kebijakan apa yang mereka ambil, serta dalam demokrasi pendapat umum memainkan peran penting.

Perdebatan frasa “sudah/pernah menikah” sempat terjadi saat pembahasan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. 

Akan tetapi, dari 10 fraksi di DPR saat itu, hanya Fraksi Nasdem yang menolak ketentuan “sudah/pernah menikah”. 

Saatnya MK menganulir diskriminasi hak pilih atas frasa “sudah/pernah menikah”.

Perdebatan frasa “atau sudah/pernah menikah” itu, dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang menjadi syarat sebagai pemilih masih kerap menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung usai. 

Bahkan, frasa “atau sudah/pernah menikah” masih dimasukkan dalam undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu. 

Penulis Mahasiswa S-2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof Dr Haizairin, SH dan Mantan Komisioner Panitia Pengawas Pemilu (Panwslu) Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. (**)