Apalagi yang diasumsikan itu dengan sifat ‘buaya’. Ini peribahasa yang menggunakan majas simile, dimana menggambarkan suatu keadaan Bengkulu kala itu, dengan membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lainnya.

2.”Berre Secupak, Ikan Sejerek Madar”. Peribahasa ini cukup populer di Tahun 70 hingga 80-an dan sempat ‘diplintir’ pemaknaannya, dengan menganggap bahwa orang melayu bengkulu merupakan sosok masyarakat pemalas, maunya santai. Padahal makna tidak demikian.  

Peribahasa “Beras dua liter (Cupak; alat ukur beras), ikan satu ikatan yang berisi kisaran 6 atau 8 lalu duduk santai (madar)”. Menunjukan Bengkulu lama itu kaya akan hasil alamnya. 

Masyarakat Melayu Bengkulu menganggap, tak usah tergopoh-gopoh atau ngoyo mencari rezeki. Nikmati hasil yang ada hari ini, besok kita cari lagi. Apalagi perairan Bengkulu lama kala itu, ikan masih banyak. Kelapa dan rempah lainnya tinggal metik saja. 

Ungkapan peribahasa ini menitikberatkan pada prinsip hidup masyarakat kala itu yang mudah memperoleh kebutuhan hidup. Dalam perkembangan masa, peribahasa itu ditambahkan menjadi “Berre Secupak, Ikan Sejerek, Kopi Segelas Rokok Sebatang, Madar”.

3.“Otta Gedang Cirik Kerre (Obrolannya Besar {Hebat}, Tahinya Keras)”. Di Tahun 80-an, peribahasa ini cukup populer, untuk menyebut sosok seseorang atau kelompok tertentu yang kalau bicara hebat, ‘selangit’, saat diminta faktanya nihil.   

4.”Panjanglah Muncung daripado Idung (Panjanglah  Bibir mulut daripada Hidung).   Ungkapan peribahasa yang ingin menunjuk seseorang atau kelompok  yang sombong, merasa hebat sendiri.

5.”Dikapak Parang Dogol (Dibacok Golok Tumpul). Ini peribahasa yang mengungkapkan seseorang diterpa nestapa atau masalah, tapi deritanya tanggung. Jadi diibaratkan kena bacok sama golok tumpul, seseorang memang tidak luka tapi dampak hantamannya membuat lebam dan berbekas. Kata orang Melayu Bengkulu, “Tekato-kato di kapak parang dogol. Luko idak, tapi badan tebirek-birek”.

6.“Lemak Ngecek, Sego Berasan (Enak Ngobrol, Susah Berunding”. Ini peribahasa mengungkapkan sosok seseorang yang merupakan teman ngobrol yang asyik apapun itu. Hanya saja saat kita butuh bantuan, pertolongan, diajak berunding maka orang tersebut sulit dimintakan pertolongan.

7.“Ari Pane Ajo Lenya, Apolagi Ari Ujan (Hari Panas Saja Becek, Apalagi Hari Hujani”. Peribahasa yang ingin menunjukan orang itu tidak rajin. Acapkali peribahasa itu ditujukan pada perempuan, isteri yang kurang tanggap akan bersih-bersih di rumah.

8.”Idak Dapek Pokok, Pucuknyo Jadi Jugo (Tidak Dapat Pokok, Pucuknyo Jadi Juga)”. Peribahasa yang mengibaratkan pada sebatang pohon. Biasanya digunakan seseorang yang lagi kasmaran, tapi ditolak seseorang perempuan. Seorang pria berharap, kalau kakaknya (Pokok pohon) tidak didapati cintanya, maka pria berharap adiknya di dapatinya.  

Peribahasa yang penulis ungkap diatas hanya delapan dari ratusan peribahasa Melayu Bengkulu yang ada. Mengingat modernisasi kian melanda, diharapkan peribahasa merupakan budaya lokal dapat terinventarisir oleh pihak yang berkompeten, agar tak punah dimakan zaman. 

*Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu