Perdebatan golongan Islam dan nasionalis akhirnya mampu ditengahi dengan memasukkan kata-kata pada sila “Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.” Itulah hasil kompromi antara golongan Islam dan golongan nasionalis yang duduk dalam Panitia Sembilan. Yamin menamainya dengan sebutan Piagam Jakarta.

Namun sejarah kemudian mencatat, tujuh kata pada sila pertama tersebut akhirnya dihilangkan. Yang melatarbelakanginya, pada tanggal 18 Agustus pagi, Moh Hatta didatangi utusan Indonesia Timur yang mengancam akan memisahkan diri jika tujuh kata itu tetap dimuat. Hatta berdiskusi dan meminta persetujuan Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo. Kedua tokoh Islam itu menerima sehingga tujuh kata itu akhirnya dihilangkan.

Rumusan akhir Pancasila yang kemudian ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dan berlaku hingga sekarang berbunyi. Pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Tiga; Persatuan Indonesia. Empat; Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan/Perwakilan. Lima; Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Perekat Bangsa
Pancasila adalah jalan tengah di antara ide Negara Agama dan Negara Sekuler. Kelima sila merupakan nilai-nilai universal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Nilai-nilai tauhid yang terkandung dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ajaran agama Islam. Baca Surat Al Ikhlas ayat 1; Katakanlah (Muhammad), Tuhan Itu Esa.

Indonesia bukan Negara Agama, tapi bukan pula Negara sekuler. Negara tidak memisahkan urusan agama dari Negara. Maka itu ada Kementerian Agama yang mengurus soal-soal agama. Semua diurus Negara mulai masalah perkawinan, perceraian, wakaf, warisan, pendirian tempat ibadah dll. Untuk antisipasi sengketa soal-soal tersebut, Negara membentuk Pengadilan Agama. Indonesia bukan Negara Agama, tapi Negara berketuhanan. Negara tauhid yang mengakui keberadaan Tuhan yang Esa.

Karena nilai-nilai Pancasila yang selaras dengan ajaran agama Islam, tidak heran bila dua Ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah menerima Pancasila. Inilah Ormas yang menjadi penyanggah republik dengan Pancasila sebagai pondasi sekaligus perekat. Sulit membayangkan apa jadinya bangsa ini tanpa ada perekat yang hebat atau tanpa pondasi yang kuat. Sampai di sini, sekali lagi, kita harus memberi apresiasi yang tinggi kepada para pendiri bangsa.

Fundamen Untuk Semua
Pancasila adalah the fondation of state. Untuk menyokong Negara sebesar Indonesia, tentulah harus dengan fundamen yang kokoh. Fundamen untuk menyanggah seluruh bangunan agar tidak roboh. Bukan fundamen untuk sepotong bangunan saja. Bukan pula fundamen untuk satu dinding saja atau untuk satu lantai saja. Tapi fundamen untuk seluruh bangunan.

Pancasila bukan fundamen untuk satu kelompok. Bukan pula fundamen untuk satu golongan atau agama tertentu. Akan tetapi fundamen untuk semua golongan. Itulah konsensus bapak-bapak bangsa. Kita harus menaruh hormat kepada para pendiri bangsa. Mereka tak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tapi juga dianugerahi kelapangan hati dan kebesaran jiwa yang sangat hebat. Mereka berdebat panas. Berbulan-bulan. Bersitegang urat syaraf. Hasil akhirnya menyepakati Pancasila sebagai pondasi Negara Indonesia merdeka.
SELAMAT HARI LAHIR PANCASILA

Penulis adalah Ketua PWI Provinsi Bengkulu