Opini: Benny Hakim Benardie
Sebagai manusia beradap dan hidup di Negara Hukum Indonesia yang berazaskan Pancasila, sebaiknya radikalisme disimpan baik-baik di dalam hati. Pada fase tertentu, isme ini akan dibutuhkan bila suatu waktu ada keadaan usai pertimbangan obyektif dan matang memang harus di gerakkan.
Dalam KBI disebutkan, radikalisme merupakan paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Ini suatu pengertian yang manusiawi sebagai makhluk berakal.
Radikal yang penulis maksud adalah radikalisme non ekstrim. Gerakan radikal dilakukan usai pertimbangan akal yang obyektif untuk kebaikan, kemajuan dan kebenaran. Bukan taklid tanpa pertimbangan, apalagi fanatis demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Bila ada orang atau kelompok yang memaksakan kehendak dan setiap ide-nya musti dilakukan radikalisasi, tentunya orang atau kelompok ini dapatlah dinamakan penghianat bangsa. Julukan pantas, karena ulah radikali yang dilakukannya dengan maksud jahat dan merusak tatanan yang ada. Apalagi yang menjadi konsep hanyalah kepentingan sekelompok kecil dan tuntutan yang tidak prinsip,
Radikalisme di berbagai daerah di Indonesia bukan hal yang baru. Fenomena eksistensinya sudah ada sejak zaman perjuangan frontal dilakukan para pahlawan pejuang Indonesia .
Di era kemerdekaan misalnya, bagaimana PKI menggunakan radikalisme dan bagaimana ‘masyarakat’ saat membraguskan PKI. Saat Presiden Soekarno di tuntutan mundur dari jabatannya ere 65-66-an . Gerakan radikalisme reformasi 98-99-an menuntut mundur Presiden Soeharto. Era Presiden Gusdur. Tentunya ini contoh besar kesalahan sosial, termasuk ulah remaja, masyarakat tawuran dengan motif yang tidak penting.