Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, Mak Meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun.

Tradisi Meugang juga dimanfaatkan oleh pahlawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan.

Setiap perayaan Meugang, seluruh keluarga atau rumah tangga memasak daging dan disantap oleh seisi rumah. Pantang jika keluarga tidak memasak daging pada hari Meugang. 

Meugang memiliki nilai religius karena dilakukan pada hari-hari suci umat Islam. Masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang dicari selama 11 bulan wajib disyukuri dalam bentuk tradisi Meugang.

Tradisi “Makmeugang” atau “Meugang” bagi masyarakat Aceh telah menjadi budaya. Meugang tetap dilaksanakan bagi masyarakat Aceh meskipun tidak menetap di negerinya.

Menurut Sejarawan Aceh

Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid alias Cek Midi, menjelaskan tradisi meugang sudah berlangsung sejak 400 tahun lalu. 

Tradisi ini berawal dari kesultanan Aceh pada saat itu.”Dalam literatur buku ‘Singa Aceh’ dijelaskan bahwa sultan sangat mencintai rakyatnya baik fakir miskin ataupun kaum dhuafa,”

Orang yang tidak mampu di masa itu menjadi tanggung jawab sultan. Dia kemudian mengeluarkan satu qanun (hukum) yang mengatur tentang pelaksanaan meugang. 

Qanun yang dikeluarkan oleh sultan kala itu diberi nama ‘Meukuta Alam’. Pada Bab II pasal 47 qanun disebutkan, Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadhi Mu’azzam Khazanah Balai Silaturahmi.

Yaitu mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong di hari Meugang. Lalu dibagi-bagikan daging kepada fakir miskin, dhuafa, dan orang berkebutuhan khusus.