Site icon Redaksi88.com

Girik Cik: Bengkulu di Persimpangan Bundaran ‘Ngejut-ngejut aja’

Ilustrasi Girik Cik

By Cik Ben

Riuh soal persimpangan di kota Bengkulu yang akan diganti nama atau sebutannya, timbulkan pro kontra di masyarakat kota yang berjuluk “Kota Sejuk Meriah Aman Rapih dan Kenangan” atau disingkat Kota Semarak. Begitulah tetua Bengkulu sebelumnya menyematkan untuk Ibukota Provinsi Bengkulu ini.

Paling tidak ada dua kontra dalam pemikiran. Mulai dari perubahan nama julukan Kota Semarak menjadi Bumi Merah Putih,  Simpang (Sempang) dirubah jadi Bundaran (Bulek-an).

Sebutan nama simpang yang puluhan tahun akrab  disebut oleh masyarakat Bengkulu, diganti dengan nama sebutan Bundaran para mantan Walikota Bengkulu sebelum era Helmi Hasan yang saat ini memimpin.

Tentunya semua itu kepurtusannya tergantung pada siapa yang lagi memegang kekuasaan. Warga yang kontra terhadap ketidaksetujuan harus sampaikan aspirasinya. Ini bagian dari tanggungjawab sebagai anak Negeri Bengkulu, untuk antisipasi ide  ‘ngejut-ngejut aja’ ini.

Kata Tetua Bengkulu dalam mengambil keputusan untuk kepentingan masyarakat, “Kalu idak tau betanyo. Kalu la tau kasih tau”. Maknanya mirip dengan kalimat, “Kalau tak tahu belajarlah. Kalau sudah tahu mengajarlah”. Pesan yang bermakna menuju manusia beradap agar tak jadi biadap.

Oleh karena itu, kritik sosial sebagai warga Bengkulu perlu ditegakkan, paling tidak seperti Perda Adat Bengkulu masih gencar ditegakan.

Nah…Kenapa sebagai warga Bengkulu  hendaknya  bertanya soal yang kontra itu tanpa tedeng aling-aling? Hanya dongeng  yang tak perlu dipertayankan. Kalau ceritera atau sejarah sesorang, perlu dipertanyakan.

Benar kalau ingin merubah sesuatu  itu tidak haram. Yang haram itu kalau dilarang oleh kitap suci. Pertanyaannya dalam soal kemasyaraklatan ini, apakah urgennya, pentingnya, merubah Julukan Bengkulu Kota Semarak menjadi Bumi Merah Putih?

Bila itu dihubungkan dengan Bendera Merah Putih yang sempat dijahit oleh Ibu Agung Fatmawati, bukankah benderah kita tak di pikirkan, apalagi di jahit atau di rajut di kota Bengkulu?

Tentu kita paham, meskipun “Cik Tau tapi Cik selow. Kendak bubu ikan masuk. Kendak ikan kelak dulu”. Monumen Ibu Agung Fatmawati sudah tecancang  di Simpang (Sempang) Lima Ratu Samban.

Biarlah tetap seperti anak negeri ini menyebut Simpang yang di tautkan nama pahlawan yang diberi gelar Ratu Samban itu.  Tetap monumen Ibu Agung duduk ditengah Simpang Lima Ratu Samban.

Tetaplah mengunakan nama simpang yang bermuatan lokal dengan nama para mantan Walikota Bengkulu yang harum dan berprestasi. Tentunya dengan simpang  yang belum bernama dan populer di lidah masyarakat.

Bila simpang itu berada di wilayah Suku Lembak, sebaiknya lakukan musyawarah, tautkan nama pahlawan dari Suku Lembak saja. Begitu juga di wilayah Melayu kota Bengkulu.

Biarkan saja sebutan seperti Tugu Dhol di dekat Bank Indonesia menjadi sebutan yang telah lama masyarakat biasa mengucapkannya.

Nama Tugu Dhol kan keren tu!  Termasuk nama simpang yang populer dan unik lainnya. Biarkan Bengkulu berjuluk kota Semarak yang unik dan terkesan Bengkulu kota Marlborough.

Biarkan Kota Bengkulu tetap menjadi negeri kenangan bagi warganya, termasuk adik sanak yang jauh dirantau. Jangan lagi kita membabatbingkas sejarah dan peradaban yang sudah dan pernah ada. Baiknya lakukan musyawarah dari berbagai lini, agar keputusan yang diambil pihak yang lagi berkuasa tidak “ngejut-ngejut aja”.

*Penulis  Pemerhati Sejarah dan Budaya Bengkulu

Exit mobile version