Site icon Redaksi88.com

Mengungkap Nalar diantara Khayal

Ilustrasi/Danau Picung Lebong. (Foto/piliank)

Opini: Benny Hakim Benardie

Menyentil cara berfikir dan mematahkan pendapat orang lain, dalam negara demokrasi diperkenankan. Tentunya alangkah baiknya itu dilakukan sesuai kepatutan, tidak dimaksud mendiskreditkan seseorang atau kelompok, serta tidak egosentris. Ini merupakan hak asasi seseorang untuk bernalar.

Sebagai manusia beradab di era modernisasi, bernalar dalam melihat dan menanggapi sesuatu merupakan keharusan. Bernalar berarti seseorang melihat atau memperhatikan dengan berpikir sungguh-sungguh. Bukan asal ‘njeplak’.  

Pada  kenyataannya, bernalar sulit dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, mengingat akan kepentingan, desakan kebutuhan popularitas dan egosentris pragmatis. Kenapa hal ini ada di masyarakat intelektual, politisi dan praktisi kita? Karena ada kesadaran tiga komponen yang terabaikan yaitu nalar, akal sehat dan hati.

Sering kali misalnya seorang politisi atau praktisi dalam berbagai komentar menanggapi sebuah pendapat, dengan persepsi-persepsi tanpa merunut latar belakang atas pendapat yang ditanggapinya. Sebaliknya, pemberi pernyataan hanya memaparkan  secara kontekstual, tanpa memikirkan atas persepsi.   

Penulis sebenarnya ingin menegaskan, jika benar persepsi benar-benar merupakan persepsi yang benar, cocok dengan nalar dan akal sehat, adakah kita harus mematuhi dan bertindak atas dasar itu? Katakanlah mengiakan pertanyaan diatas, lantas bagaimanakah bila  ternyata persepsi yang kita anggap benar tadi ternyata salah?

Otoritas nalar dalam berpendapat merupakan keharusan. Sebutan manusia berkualitas salah satu ‘bayarannya’. Bila tidak, analogi sebagai manusia tuli dan bisu akan disandang, apa dan siapapun dia. Kesalahan akan persepsi merupakan kekurangan akan informasi yang mestilah ada klarifikasi susulan.

Bisu dan tuli yang penulis maksud tentunya bukan secara fisik. Melainkan ketidakmampuan mendengarkan hakekat, atau mendengarkan tapi tidak mengikuti dengan lidahnya. Bisu karena lidahnya hanya dipakai untuk omong kosong belaka. Tuli karena tidak dapat  mendengarkan hakikat yang ada.  Maka mereka merupakan sosok yang tidak bernalar. Sosok yang tidak bisa memperoleh keuntungan dari pemikirannya.  

Pemikiran

Apa yang penulis paparkan diatas merupakan sebuah pemikiran. Yang terpenting dari pemikiran ini  adalah hasil guna dan buahnya. Lantas bagaimanakah  kalau hasil guna dan buahnya merupakan bentuk pemahaman yang berbeda?  

Hal itu hanya soal warna dan rasanya saja. Bila itu merupakan pemahaman atas gagasan, maka lebih ditekankan pada akal dan kemampuan penggunaan akal seseorang.  

Penalaran atau pemikiran dalam arti proses berpikir, memang proses yang rumit dan mempunyai empat unsur. Fakta yang terindera, panca indera manusia, otak manusia, dan informasi sebelumnya yang berkaitan dengan fakta dan dimiliki oleh manusia.

Bila keempat unsur itu tidak terkumpul dalam satu proses berpikir, maka pemikiran dan kesadaran dalam memahami sesuatu tidak akan terwujud.  

Bila kita mengatakan sedang berpikir tentang sesuatu tanpa fakta yang terindera, maka itu adalah imajinasi atau khayal belaka. Tentunya ini bukan satu pemikiran namanya, tapi ‘tong kosong yang bunyinya nyaring’ dan memusingkan kepala kita.

Penulis tinggal di Bengkulu

Exit mobile version