Catatan Pinggir Benny Hakim Benardie
Benarkah wartawan yang belum punya mobil, rumah masih ngontrak, belum menulis buku, tak pantas disebut wartawan senior atau bangkotan? Atau akan lebih ideal bila sosok itu disebut wartawan ‘buyanisme” ditengah komunitas pragmatis.
Ah, kalimat diatas sulit dipahami. Itupun juga salah. Pakailah bahasa yang mudah dipahami masyarakat umum. Bila tidak, ketersingungan, fitnah riskan datang mendera.
Gunjingan seperti itu acapkali terdengar dikalangan wartawan ataupun masyarakat umum. Tentunya itu bukan ‘Buruk upek’. Itu motivasi dalam penyampaian ala budaya lokal. Tidak ada yang salah. Mungkin sekedar lontaran ungkapan, menyindir diri yang kerap menulis berbagai bentuk berita, artikel, opini bahkan karya sastra lainnya.
Berbagai kumpulan guntingan tulisan di koran hingga era media online bertumpuk dalam klipingan. Bahkan berserakan disudut ruang almari reot berbubuk. Hanya ada rasa kebanggaan saat kita melihat tumpukan yang menunjukan kaya akan hasil karya, meskipun masih minim akan harta.
Suatu waktu di beranda sebuah café pinggiran pantai Bengkulu kota, sekelompok reporter televis dan tim kreatif dari Jakarta berencana ingin interviu. “Apakah anda wartawan senior yang punya karya? Bila benar, mana buku yang sudah anda terbtkan? Tadi anda kesini naik kendaraan apa?”
Tadinya kita menduga itu ungkapan dari budaya lokal terbantahkan. Meskipun pertanyaan yang pernah tercetus itu merupakan ungkapan tulus, intermezo ataukah sindiran yang tentunya amat sangat mudah untuk dijawab, dipatahkan.
Dilalanya, bila pertanyaan itu dibiarkan liar, maka dapat dipastikan, yang ditanya itu bukan wartawan senior, tapi hanya wartawan ‘tua’ saja. Wartawan yang hanya tahu akan fakta saja, tanpa tahu mengurai peristiwa. Tentu itu dapat dimaklumi. Mungkin saja Si Penanya lupa, bahwasanya wartawan itu merupakan profesi, yang di dalamnya bernaung jiwa.